Sabtu, 09 April 2011

SOSOK- SOSOK PEMBANGKIT SEMANGAT (Bagian 3)


IMAM AL-KISA’I
TAK ADA ROTAN AKARPUN JADI
Ada seorang santri dari Jawa Barat, dia termasuk penggemar berat nadzam “Alfiyyah”. Hari-harinya di pesantren dihabiskan untuk memperdalam Alfiyyah, kemana-mana selalu menenteng “Ibnu Aqil” salah satu komentar Alfiyyah yang biasa dikaji di Pondok Pesantren Al-Falah setiap malam Kamis. Untuk mempelajari Fiqih kurang begitu diminati, teman santri yang satu ini nampaknya terobsesi oleh “kehidupan Syaikhuna Kholil Bangkalan” mahaguru bagi para ulama se-Jawa yang seluruh hidupnya untuk mempelajari dan mengajar Alfiyyah. Setiap permasalahan yang diajukan kepada Syaikhuna selalu dijawab dijawab dengan bait-bait Alfiyyah , baik persoalan Aqidah, Fiqih, Tasawwuf dan berbagai problematika yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, bahkan permintaan barokah do’a dari para tamu yang datangpun cukup diambil dari bait-bait Alfiyyah.
Pernah terjadi ketika Kyai Kholil bersama Kyai lain dalam satu majlis undangan, beberapa undangan melecehkan kebiasaan Kyai Kholil yang selalu makan dengan tangan telanjang, tidak mau memakai sendok, menghadapi lecehan orang tersebut “Syaikhuna” hanya tersenyum. Setelah itu sambil bercanda dijawab dengan bait ke-63 dari kitab Alfiyyah. Bunyi bait tersebut adalah :
وَفِي احْتِيَارٍ لاَ يَجِيْءُ المُنْفَصِلْ  *  إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ المُتَّصِلْ
“Dalam keadaan tidak kepepet, tidak boleh mendatangkan Dhomir terpisah, selagi masih mudah diperbolehkan mendatangkan Dhomir bersambung”.
Jawaban dari Kyai Kholil ini maksudnya adalah dalam keadaan tidak kepepet/darurat, tidak boleh mendatangkan atau memakai sendok/garpu (karena antara nasi dan tangan terpisah), selagi masih bisa menggunakan tangan (karena bersambung antara tangan dan nasi), tetapi apabila tidak memungkinkan memakai tangan (Dhomir Muttasil) karena kotor misalnya, tidak ada pilihan lain kecuali meminta bantuan dengan menggunakan sendok garpu (Dhomir Munfasil), jadi cara makan yang benar menurut kitab Alfiyyah adalah memakai tangan bukan sendok garpu.
Menjelang Bahsul Masa’il Pondok Pesantren, teman-teman kelasnya sibuk mencari Ta’bir tentang bagaimana melakukan dua jum’atan dala satu kampung, ketika ditanyakan kepadanya (teman santri dari Jawa Barat tadi) apakah ada bait-bait Alfiyyah yang menjelaskan hukum pelaksanaan dua jum’atan dalam satu kampung? Dengan enteng teman santri ini menyebutkan bait-bait Alfiyyah :
وَفِي احْتِيَارٍ لاَ يَجِيْءُ المُنْفَصِلْ  *  إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ المُتَّصِلْ
“kalau dalam keadaan ikhtiyar ya tidak boleh munfasil (melaksanakan dua jum’atan), kalau dalam keadaan sulit (tidak mudah) mengumpulkan,, yaa boleh !!!  benar sekali jawabannya sama persis dengan teks-teks Fiqih. kalau sulit dikumpulkan ( الإِجتماع عسر (, yaa boleh” kalau masih mudah dikumpulkan yaa tidak boleh, dan ditanyakan lagi kepadanya, jika terlanjur terjadi mana yang dihukumi sah? Ia menjawab pula dengan bait Alfiyyah :
وَقَدِّمِ الأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ  *  وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
Maksudnya yang lebih dulu dilaksanakan (وَقَدِّمِ الأَخَصَّ) itulah yang dihukumi sah.
Dalam acara Jam’iyyah di Pondok Pesantren, seorang penceramah menyebutkan kutipan “maqolah” yang berbunyi :
مَنْ تَبَحَّرَ عِلْمًا وَاحِدًا تَبَحَّرَ جَمِيْعَ العُلُوْمِ "يَعْنِي عِلْمَ الأَلَةِ"
“Barang siapa menguasai satu cabang ilmu, niscaya ia juga bisa menguasai seluruh cabang ilmu yang lain “ (yakni ilmu alat).
Dengan sangat logis “penceramah” itu mengupas isi maqolah tersebut, bahwa dengan menguasai ilmu Nahwu Shorof, seorang santri akan bisa membaca kitab apa saja, dengan demikian ia akan menguasai berbagai cabang ilmu. Gus Maksum atau sebutan untuk Almaghfurlah KH. Maksum Jauhari, Pengasuh PonPes Lirboyo Kediri, pernah menceritakan, bahwa Kyai Mat Jipang (nama aslinya Muhammad, karena ngajinya gampang, kemudian mendapat julukan Mad Jipang,, red) yang hanya dengan bekal Tashrif dan Al-Ajurumiyyah, bisa membaca kitab kuning Fathul Wahab kosongan. Beliau berkata, kalau anda sudah faham Al-Ajurumiyyah, sudah pernah hafal Tashrif tapi belum bisa membaca kitab kuning kosongan, tentu ada yang salah dalam sistem belajar anda.
Dalam kitab I’anatut-Tholibin dalam pembahasan sujud sahwi, ada satu maqolah yang berasal dari Imam Kisa’i. Maqolah ini ditanamkan kepada murid-muridnya “bahwa dengan menguasai Nahwu Shorof saja, sebenarnya sudah cukup”. Meskipun tidak mempelajari disiplin ilmu yang lain. Maqolah itu berbunyi :
  
مَنْ تَبَحَّرَ فشي عِلْمٍ إِهْتَدَي بِهِ إِلَى سَائِرِ العُلُوْمِ
“Barang siapa yang menguasai satu disiplin ilmu, maka ia akan mendapat petunjuk untuk mencapai ilmu-ilmu yang lain”.
Abu Yusuf, Santri Abu Hanifah, mewakili kelompok Fuqoha sangat jengkel dan penasaran pada “jargon-jargon” yang sering dilontarkan oleh Imam Kisa’i ini. Dalam sebuah pertemuan suatu ketika Abu Yusuf berjumpa dengan Imam Kisa’i. kesempatan ini digunakan oleh Abu Yusuf untuk menanyakan masalah fiqih yang cukup sulit dengan tujuan untuk menguji kebenaran maqolahnya.
Berkata Abu Yusuf : “Selamat datang wahai Imam Kisa’i, Imam orang-orang Kufah. Aku sering mendengar maqolahmu, yang menurutmu dengan menguasai satu disiplin ilmu, berarti juga bisa menguasai seluruh cabang ilmu lain. Aku ingin tahu apakah engkau juga menguasai fiqih?”.
“silahkan bertanya apa saja tentang Fiqih, bukankah engkau terkenal sebagai Imamnya para Fuqoha? Jawab Imam Kisa’i dengan enteng. “Begini pertanyaanku”, sambut Abu Yusuf. “jika ada orang yang lupa melakukan sujud sahwi sampai tiga kali, apakah masih disunahkan sujud sahwi lagi?” dengan suara mantap Al-Kisa’i menjawab: “menurutku tidak ! karena menurut kaidah Nahwu : الْمُصَغَّرُ لاَ يُصَغّر  sesuatu yang sudah ditashghir tidak boleh ditashghir lagi. Seperti lafaz دِرْهَمٌ ketika ditashghir menjadi دُرَيْهِمٌ dengan menambah ya’, kemudian ditashghir menjadi دُرَيْهِمٌ, maka tidak boleh ditashghir lagi dengan menambah ya’ yang lain.
Imam Abu Yusuf, dibuat kagum oleh jawaban Imam Kisa’I ini, sungguh tepat jawabannya dan tidak menyimpang dari pendapat para Fuqoha’. Nampaknya benar kata peribahasa : “tak ada rotan akarpun jadi”“tak ada Fiqih, Nahwupun jadi”.

Rabu, 06 April 2011

SOSOK SOSOK PEMBANGKIT SEMANGAT (Bagian 2)


HASAN BIN ZIYAD, SANTRI TUA ABU HANIFAH
(TH 44 – 204)
Anda pergi mondok sudah tua, sudah usia 20 th, 25 th, 30 th atau lebih. Jangan khawatir…! Jangan putus asa, banyak santri tua yang meraih sukses besar. Toh, umur, rezeki, jodoh adalah urusan tuhan. Jangan berandai-andai tentang umur seseorang, semua itu urusan Tuhan. Anda tidak percaya.
Hasan Bin Ziyad ulama kenamaan, sahabat Abu Yusuf itu, ketika nyantri kepada Abu Hanifah sudah berusia 80 tahun, mempeng belajar, tidak pernah tidur malam selama 40 tahun. Masya Allah, coba bayangkan mondok selama 40 tahun namun tidak tidur ! kemudian pada usia 120 tahun beliau diangkat menjadi mufti Kufah menggantikan Abu Yusuf. Menurut catatan sejarah, Hasan bin Ziyad menjadi mufti selama 40 tahun dan wafat dalam usia 160 tahun.
Untuk itu mulai sekarang “MANTAPKAN MENTAL ANDA”! untuk menuntut ilmu selama hayat masih dikandung badan, tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi. Percayalah pendapat para ahli hikmah, orang semakin banyak umurnya, semakin matang dan dewasa cara berfikirnya.