Sabtu, 09 April 2011

SOSOK- SOSOK PEMBANGKIT SEMANGAT (Bagian 3)


IMAM AL-KISA’I
TAK ADA ROTAN AKARPUN JADI
Ada seorang santri dari Jawa Barat, dia termasuk penggemar berat nadzam “Alfiyyah”. Hari-harinya di pesantren dihabiskan untuk memperdalam Alfiyyah, kemana-mana selalu menenteng “Ibnu Aqil” salah satu komentar Alfiyyah yang biasa dikaji di Pondok Pesantren Al-Falah setiap malam Kamis. Untuk mempelajari Fiqih kurang begitu diminati, teman santri yang satu ini nampaknya terobsesi oleh “kehidupan Syaikhuna Kholil Bangkalan” mahaguru bagi para ulama se-Jawa yang seluruh hidupnya untuk mempelajari dan mengajar Alfiyyah. Setiap permasalahan yang diajukan kepada Syaikhuna selalu dijawab dijawab dengan bait-bait Alfiyyah , baik persoalan Aqidah, Fiqih, Tasawwuf dan berbagai problematika yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, bahkan permintaan barokah do’a dari para tamu yang datangpun cukup diambil dari bait-bait Alfiyyah.
Pernah terjadi ketika Kyai Kholil bersama Kyai lain dalam satu majlis undangan, beberapa undangan melecehkan kebiasaan Kyai Kholil yang selalu makan dengan tangan telanjang, tidak mau memakai sendok, menghadapi lecehan orang tersebut “Syaikhuna” hanya tersenyum. Setelah itu sambil bercanda dijawab dengan bait ke-63 dari kitab Alfiyyah. Bunyi bait tersebut adalah :
وَفِي احْتِيَارٍ لاَ يَجِيْءُ المُنْفَصِلْ  *  إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ المُتَّصِلْ
“Dalam keadaan tidak kepepet, tidak boleh mendatangkan Dhomir terpisah, selagi masih mudah diperbolehkan mendatangkan Dhomir bersambung”.
Jawaban dari Kyai Kholil ini maksudnya adalah dalam keadaan tidak kepepet/darurat, tidak boleh mendatangkan atau memakai sendok/garpu (karena antara nasi dan tangan terpisah), selagi masih bisa menggunakan tangan (karena bersambung antara tangan dan nasi), tetapi apabila tidak memungkinkan memakai tangan (Dhomir Muttasil) karena kotor misalnya, tidak ada pilihan lain kecuali meminta bantuan dengan menggunakan sendok garpu (Dhomir Munfasil), jadi cara makan yang benar menurut kitab Alfiyyah adalah memakai tangan bukan sendok garpu.
Menjelang Bahsul Masa’il Pondok Pesantren, teman-teman kelasnya sibuk mencari Ta’bir tentang bagaimana melakukan dua jum’atan dala satu kampung, ketika ditanyakan kepadanya (teman santri dari Jawa Barat tadi) apakah ada bait-bait Alfiyyah yang menjelaskan hukum pelaksanaan dua jum’atan dalam satu kampung? Dengan enteng teman santri ini menyebutkan bait-bait Alfiyyah :
وَفِي احْتِيَارٍ لاَ يَجِيْءُ المُنْفَصِلْ  *  إِذَا تَأَتَّى أَنْ يَجِيْءَ المُتَّصِلْ
“kalau dalam keadaan ikhtiyar ya tidak boleh munfasil (melaksanakan dua jum’atan), kalau dalam keadaan sulit (tidak mudah) mengumpulkan,, yaa boleh !!!  benar sekali jawabannya sama persis dengan teks-teks Fiqih. kalau sulit dikumpulkan ( الإِجتماع عسر (, yaa boleh” kalau masih mudah dikumpulkan yaa tidak boleh, dan ditanyakan lagi kepadanya, jika terlanjur terjadi mana yang dihukumi sah? Ia menjawab pula dengan bait Alfiyyah :
وَقَدِّمِ الأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ  *  وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
Maksudnya yang lebih dulu dilaksanakan (وَقَدِّمِ الأَخَصَّ) itulah yang dihukumi sah.
Dalam acara Jam’iyyah di Pondok Pesantren, seorang penceramah menyebutkan kutipan “maqolah” yang berbunyi :
مَنْ تَبَحَّرَ عِلْمًا وَاحِدًا تَبَحَّرَ جَمِيْعَ العُلُوْمِ "يَعْنِي عِلْمَ الأَلَةِ"
“Barang siapa menguasai satu cabang ilmu, niscaya ia juga bisa menguasai seluruh cabang ilmu yang lain “ (yakni ilmu alat).
Dengan sangat logis “penceramah” itu mengupas isi maqolah tersebut, bahwa dengan menguasai ilmu Nahwu Shorof, seorang santri akan bisa membaca kitab apa saja, dengan demikian ia akan menguasai berbagai cabang ilmu. Gus Maksum atau sebutan untuk Almaghfurlah KH. Maksum Jauhari, Pengasuh PonPes Lirboyo Kediri, pernah menceritakan, bahwa Kyai Mat Jipang (nama aslinya Muhammad, karena ngajinya gampang, kemudian mendapat julukan Mad Jipang,, red) yang hanya dengan bekal Tashrif dan Al-Ajurumiyyah, bisa membaca kitab kuning Fathul Wahab kosongan. Beliau berkata, kalau anda sudah faham Al-Ajurumiyyah, sudah pernah hafal Tashrif tapi belum bisa membaca kitab kuning kosongan, tentu ada yang salah dalam sistem belajar anda.
Dalam kitab I’anatut-Tholibin dalam pembahasan sujud sahwi, ada satu maqolah yang berasal dari Imam Kisa’i. Maqolah ini ditanamkan kepada murid-muridnya “bahwa dengan menguasai Nahwu Shorof saja, sebenarnya sudah cukup”. Meskipun tidak mempelajari disiplin ilmu yang lain. Maqolah itu berbunyi :
  
مَنْ تَبَحَّرَ فشي عِلْمٍ إِهْتَدَي بِهِ إِلَى سَائِرِ العُلُوْمِ
“Barang siapa yang menguasai satu disiplin ilmu, maka ia akan mendapat petunjuk untuk mencapai ilmu-ilmu yang lain”.
Abu Yusuf, Santri Abu Hanifah, mewakili kelompok Fuqoha sangat jengkel dan penasaran pada “jargon-jargon” yang sering dilontarkan oleh Imam Kisa’i ini. Dalam sebuah pertemuan suatu ketika Abu Yusuf berjumpa dengan Imam Kisa’i. kesempatan ini digunakan oleh Abu Yusuf untuk menanyakan masalah fiqih yang cukup sulit dengan tujuan untuk menguji kebenaran maqolahnya.
Berkata Abu Yusuf : “Selamat datang wahai Imam Kisa’i, Imam orang-orang Kufah. Aku sering mendengar maqolahmu, yang menurutmu dengan menguasai satu disiplin ilmu, berarti juga bisa menguasai seluruh cabang ilmu lain. Aku ingin tahu apakah engkau juga menguasai fiqih?”.
“silahkan bertanya apa saja tentang Fiqih, bukankah engkau terkenal sebagai Imamnya para Fuqoha? Jawab Imam Kisa’i dengan enteng. “Begini pertanyaanku”, sambut Abu Yusuf. “jika ada orang yang lupa melakukan sujud sahwi sampai tiga kali, apakah masih disunahkan sujud sahwi lagi?” dengan suara mantap Al-Kisa’i menjawab: “menurutku tidak ! karena menurut kaidah Nahwu : الْمُصَغَّرُ لاَ يُصَغّر  sesuatu yang sudah ditashghir tidak boleh ditashghir lagi. Seperti lafaz دِرْهَمٌ ketika ditashghir menjadi دُرَيْهِمٌ dengan menambah ya’, kemudian ditashghir menjadi دُرَيْهِمٌ, maka tidak boleh ditashghir lagi dengan menambah ya’ yang lain.
Imam Abu Yusuf, dibuat kagum oleh jawaban Imam Kisa’I ini, sungguh tepat jawabannya dan tidak menyimpang dari pendapat para Fuqoha’. Nampaknya benar kata peribahasa : “tak ada rotan akarpun jadi”“tak ada Fiqih, Nahwupun jadi”.

Rabu, 06 April 2011

SOSOK SOSOK PEMBANGKIT SEMANGAT (Bagian 2)


HASAN BIN ZIYAD, SANTRI TUA ABU HANIFAH
(TH 44 – 204)
Anda pergi mondok sudah tua, sudah usia 20 th, 25 th, 30 th atau lebih. Jangan khawatir…! Jangan putus asa, banyak santri tua yang meraih sukses besar. Toh, umur, rezeki, jodoh adalah urusan tuhan. Jangan berandai-andai tentang umur seseorang, semua itu urusan Tuhan. Anda tidak percaya.
Hasan Bin Ziyad ulama kenamaan, sahabat Abu Yusuf itu, ketika nyantri kepada Abu Hanifah sudah berusia 80 tahun, mempeng belajar, tidak pernah tidur malam selama 40 tahun. Masya Allah, coba bayangkan mondok selama 40 tahun namun tidak tidur ! kemudian pada usia 120 tahun beliau diangkat menjadi mufti Kufah menggantikan Abu Yusuf. Menurut catatan sejarah, Hasan bin Ziyad menjadi mufti selama 40 tahun dan wafat dalam usia 160 tahun.
Untuk itu mulai sekarang “MANTAPKAN MENTAL ANDA”! untuk menuntut ilmu selama hayat masih dikandung badan, tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi. Percayalah pendapat para ahli hikmah, orang semakin banyak umurnya, semakin matang dan dewasa cara berfikirnya. 

Senin, 04 April 2011

SOSOK-SOSOK PEMBANGKIT SEMANGAT

IHSAN BIN DAHLAN
SANTRI MUDA YANG NAKAL
Anda termasuk anak muda yang nakal? Anak muda yang nakal wajar saja. Yang tidak wajar adalah anak muda yang tidak mau belajar. Kenakalan remaja sebenarnya tak lebih dari luapan emosi pada masa pubertas yang tidak dimanage dengan baik. Pada masa pubertas anak muda sangat besar sekali keinginannya untuk mendapat perhatian. Asalkan kenakalan itu dalam batas wajar dan tidak mengganggu aktivitas dan prestasi belajar yaa silahkan saja.
Adalah Syeikh Ihsan Bin Dahlan, kyai berpengaruh pengarang kitab Sirojut-Tholibin itu, ternyata ketika masih muda nakalnya luar biasa, hampir setiap malam nonton pertunjukan wayang dan sangat menyukai permainan dadu. Hasil dari main dadu itu dibagikan kepada teman-temannya. Ihsan sama sekali tidak ikut memakannya. Gus Ihsan putera Kyai Dahlan pengasuh pondok “JAMPES” itu, sangat terkenal lihai memainkan kesenian wayang kulit. Semua lakon wayang ia hafal diluar kepala. Pernah suatu ketika, pada saat “pentas wayang kulit” masih berlangsung, Ihsan menyela pertunjukan dan menyalahkan lakon yang dibawakan oleh “Sang Dalang”. Dalang itu marah sekali, dengan muka merah padam, menantang debat Ihsan tentang PAKEM PEWAYANGAN. Tantangan itu dilayani oleh Ihsan, dengan syarat harus ada jurinya. Akhirnya, dalang sepuh itu, memutuskan yang benar adalah “Pakem” yang disampaikan Ihsan.
Meskipun Ihsan Bin Dahlan termasuk sangat nakal, namun setiap malam “istiqomah” ngaji sorogan kepada abahnya Kyai Dahlan, pengajian privat ini dilakukan setelah tengah malam, karena sebelum tentah malam Ihsan belum pulang dari keluyurannya. Selain nakal, Ihsan juga terkenal paling cerdas diantara saudara-saudaranya.
Kenakalan Ihsan sangat menyusahkan neneknya, Nyai Istianah. Mbah nyai sangat prihatin dengan sepak terjang cucunya yang satu ini, Ihsan dianggap keluar dari tradisi keluarga kyai yang selalu menonjolkan akhlaq karimah.
Suatu ketika, ihsan diajak neneknya ziarah ke makam kakek buyutnya, Syeikh Yahuda di Nglorok Pacitan, setelah selesai tahlil dan Al-Qur’an, Mbah nyai berdo’a panjang dan sebelum berpamit pulang Mbah nyai matur kepada Syeikh Yahuda yang sudah sumare itu. “Mbah yai, niki putu panjenengan! Ihsan, menawi panggah nakal, panjenengan dunga’ake mugo-mugo di paringi mati enom mawon!
Selang beberapa hari setelah ziarah, pada waktu tidur, Ihsan bermimpi bertemu kyai tua memakai jubah panjang dan sorban, kakek tua itu membawa batu besar sekali dan batu itu dilemparkan mengenai kepala Ihsan hingga hancur dan berdarah-darah. Ihsan tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya, terasa dalam benaknya perasaan takut luar biasa.
Setiap saat selalu ingat ancaman kakek tua itu “Awas kalau terus nakal!” ngaji! ngaji, awas kalau tidak ngaji!” konon kakek yang menemui dirinya  dalam mimpi itu adalah “Syeikh Yahuda, kakek buyutnya,” yang terkenal wali abdal itu.
Semenjak mengalami mimpi itu, Ihsan tidak lagi berani keluyuran malam. Ada semacam dorongan kuat sekali untuk pergi mengembara mencari ilmu. Akhirnya Ihsan minta restu pada orang tua dan neneknya untuk berguru pada “Syaikhuna Kholil” di Bangkalan Madura, hanya sekitar dua pekan nyantri di Bangkalan, disuruh pulang oleh Mbah yai Kholil. Kemudian mondok di Lasem hanya sekitar satu tahun dan terus pindah-pindah pondok. Ternyata tekad dan pengorbanan Ihsan yang nakal dan cerdas itu membawa hasil. Ia meraih sukses besar menjadi seorang alim yang tidak hanya terkenal di jawa saja. Namanya berkibar diseluruh penjuru dunia islam. Lewat kitab karangannya “Sirojut Tholibin” komentar kitab “Minhajul Abidin” (karya terakhir Imam Al-Ghazali). Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampasi Tsumma Al-Kadiri, dikalangan pelajar muslim timur tengah mendapat gelar “Al-Ghazali – Ash-Shoghir”, karena terbukti sebagai seorang ulama yang menguasai fan tasawuf secara mendalam.
Sebenarnya kitab-kitab karya Syeikh Ihsan Bin Dahlan banyak sekali, antara lain : Irsyadul Ikhwan “menerangkan hukum merokok dan minum kopi”. Kemudian Syarah kitab Irsyadul Ibad yang diberi judul “Manahiju-Al-Imdad “(Syarah Irsadul Ibad) sampai sekarang belum diterbitkan dan terlebih dahulu ditashihkan kepada Syeikh Yasin Bin Isa Al-fadani, baru mendapat satu jilid , Syeikh Yasin wafat, setelah itu nampaknya sulit menemukan ulama yang kealimannya sekaliber Syeikh Yasin.
Sirojut Tholibin karya Syeikh Ihsan Bin Dahlan dijadikan materi kuliah bidang tasawuf di Al-Azhar Mesir dan perguruan-perguruan tinggi islam lainnya, di timur tengah ketika Syeikh Ihsan masih hidup pernah diminta Raja Farouk untuk menjadi “guru besar” di Mesir. Namun beliau menolak. Sungguh orang tidak menyangka “Ihsan Bin Dahlan” pemuda yang dulu nakal dan bandel itu kelak akan menjadi ulama besar pengarang kitab Sirojut Tholibin.
Kyai Mahrus Lirboyo pernah dawuh : “bocah kuwi nek nakal, tandane pinter”. Bolehlah mbeling asalkan sambut (sesuai) dengan prestasinya. Jangan sampai yang ditiru hanya nakalnya saja !!!

Hadits Qudsi

Hadits Qudsi adalah hadits yang Rasululloh saw disandarkan kepada Allah SWT, maka rasul menjadi perawi kalam Allah dan lafalnya dari Nabi sendiri.
Perbedan antara Hadits Qudsi dengan Alqur'an
1. Al Qur'an adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasululloh dengan lafal-Nya dan sebagai mukjizat.sedang  
    Hadits Qudsi tidak sebagai mukjizat.
2. Al Qur'an dinisbahkan kepada Allah secara langsung.sedangkan hadits qudsi dinisbahkan kepada Allah yang
    disampaikan oleh Nabi.
3. Seluruh isi Al Quran dinukil dengan mutawattir, sehingga kepastiannya sudah mutlak.Hadits Qudsi kebanyakan adalah
    khabar ahad yang kepastiannya masih merupakan dugaan.
4. Al Qur'an dari Allah baik lafalnya maupun maknanya.Hadits Qudsi hanya maknanya saja dari Allah sedangkan lafalnya
    dari Nabi.
5. Membaca Al Qur'an merupakan ibadah yang diperintahkan dalam shalat. Hadits Qudsi tidak dianjurkan dibaca dalam
    shalat.

Kamis, 31 Maret 2011

Kisah Arah Kiblat

KISAH PERDEBATAN ARAH KIBLAT
 SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI  VS HABIB  UTSMAN (MUFTI Betawi)
Oleh : Syaiful Anwar
Karamah Syaikh Nawawi Al-Bantani diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Habib Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.
 “Lihatlah Sayyid!, itulah Ka’bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka’bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke  kanan agar tepat menghadap ke Ka’bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.    
Sayyid Utsmân termangu. Ka’bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada, Ka’bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
Komentar Penulis :
Syeikh Nawawi Al-Bantani merupakan ulama yang memiliki keilmuan beberapa disiplin ilmu, antara lain ilmu fiqih dengan karangan kitabnya : Kasyifatus Saja ala syarhil Safinatin Naja, Nihayatuz zain Fii Irsyadil Mubtadi’iin, Quwwatul Habibil Gharib, Sarah Sullamul Munajat. Bidang Tafsir Al-Qur’an dengan karangan kitabnya yang monumental : Tafsirul Munir “Muraah Labiid”. Dalam Bidang ilmu Kalam/Aqidah dengan karangan kitabnya : Nuruz Zhalam ala Syarhi Aqidatil Awam dan masih banyak lagi. Bukan hanya menguasi ilmu-ilmu agama saja, Syeikh Nawawi juga mengasai ilmu Geografi dan astronomi (ilmu Falak) dimana keterangan ini penulis dapatkan dari kitab Sullamul Munajat. Menurut Syeikh Nawawi untuk wilayah Banten terletak  pada letak geografis 6 derajat mengarah ke Selatan dan letak lintang Makkah mengarah ke utara dengan ukuran 21 derajat. Syeikh Nawawi mengatakan didalam tulisan kitabnya “Sulamul Munajat” bahwa arah kiblat penduduk pulau jawa sebesar 26 derajat dari titik barat ke utara. Dalam kitab tersebut terdapat gambar kompas sebagai penentuan arah kiblat.
Maka dari itu dalam menentukan arah kiblat tentunya kita mengikuti para ulama yang sudah masyhur dan tidak diragukan lagi segi keilmuannya. Beberapa ulama yang membenarkan arah kiblat di wilayah Jakarta selain Syeikh Nawawi Banten adalah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Kalimantan Selatan yang meluruskan arah kiblat Masjid Luar Batang. Dikisahkan, suatu hari Syeikh Arsyad shalat di Masjid Luar Batang. Dia melihat bahwa arah kiblatnya tidak tepat. Dia seketika itu memberitahu kepada orang banyak. “Benarkah arah masjid ini kurang tepat menghadap kiblat?” Tanya mereka. Syeikh Arsyad seketika menunjukkan tangannya kearah kiblat yang sebenarnya. Agar orang banyak tidak ragu atas koreksinya, Syeikh Arsyad mempersilahkan orang banyak mengintai dari celah-celah tangan jubahnya yang diarahkan menuju arah kiblat. Dari celah-celah tangan jubah Syeikh Arsyad itu, orang-orang melihat ka’bah dengan jelas. Sejak saat itu, arah kiblat Masjid Luar Batang Jakarta dibetulkan arah kiblatnya, sesuai dengan petunjuk Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari[1].
Dari kisah diatas bisa diambil kesimpulan, bahwa arah kiblat dapat dicari dengan ilmu astronomi/falak atau dengan bantuan alat kompas.[2] Para ulama berpendapat kompas bisa atau boleh digunakan sebagai penentuan arah kiblat, apalagi zaman semakin modern dimana perkembangan sains dan teknologi seperti Penentuan arah kiblat dengan alat Global Positioning System (GPS) dan google earth, hal ini merupakan dapat diqiaskan dengan kompas sebagai penentuan arah kiblat, sehingga ibadah yang kita lakukan semakin mantap.
Ketahuilah! bahwa dalam ilmu astronomi, arah terbagi sebagai berikut :
1.             Arah Utara sejati yang merupakan titik awal penentuan arah dengan azimuth 0 derajat,
2.             Arah Timur laut yaitu arah di antara titik utara dan timur, berada pada azimuth 45 derajat,
3.             Arah Timur sejati dengan azimuth 90 derajat,
4.             Arah Tenggara yaitu arah di anatara titik timur dan selatan, berada pada azimuth 135 derajat,
5.             Arah Selatan sejati dengan azimut 180 derajat,
6.             Arah barat laut yaitu arah antara titik selatan dan barat dengan azimuth 225 derajat,
7.             Arah Barat Sejati yaitu arah dengan azimuth 270 derajat,
8.             Arah Barat daya yaitu arah antara titik barat dengan utara berada pada azimuth 315 derajat,
Dari pembagian arah tersebut bahwa arah barat terbagi menjadi 3 macam, yaitu barat laut, barat sejati[3] dan barat daya yang membentang dengan azimuth 225 – 315 derajat, sedangkan para ahli astronomi, ulama, Lembaga Departemen Agama RI, Lajnah Falakiyah PBNU dan lain-lain menetapkan arah kiblat untuk wilayah DKI Jakarta berada pada titik azimuth 295 derajat 9 menit, hal ini sudah ketentuan yang pasti yang dibuktikan secara ilmiah baik dengan cara tradisional maupun modern. Penentuan arah kiblat dengan cara tradisional dalam dilakukan dengan mengamati bayangan matahari pada setiap tanggal 28 Mei pukul 16:18 WIB dan 16 Juli pukul 16:27 WIB[4] dimana setiap benda yang tegak lurus akan menghasilkan bayangan yang menuju tepat ke Ka’bah Baitullah, sebagaimana pendapat kharismatik ahli hisab & rukyat almarhum almaghfurlah KH. Turaichan Kudus, bahwa kedua tanggal tersebut sebagai hari penentuan atau pelurusan arah kiblat (Yaumul Rashdil Qiblah). Sedangkan dengan cara modern, penentuan dapat digunakan alat GPS (Global Positioning System), Theodolith atau Total Station untuk mencari presisi yang akurat dengan azimuth kiblat 295 derajat 9 menit.
Adapun rukyat dengan teknologi dapat dilakukan dengan software Google Earth yang terkoneksi dengan internet. Dengan google earth kita dapat melihat dan mengoreksi arah masjid/mushalla dengan pencitraan satelit, yaitu dengan perangkat penggaris google earth suatu masjid/mushalla dapat ditarik lurus ke Ka’bah Baitullah, dan hasilnya cukup jelas pas kearah Ka’bah atau melenceng. Dengan software google earth yang canggih ini, arah kiblat dapat dihasilkan dengan tepat dan cepat.
Ketahuilah!  Kegiatan melihat arah kiblat dengan alat teknologi google earth, tidak bertentangan dengan syar’i, dikarenakan hal ini sesuai dengan pendapat Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Sullam Munajat bahwa bangunan Ka’bah dari Banten mengarah ke Rukun Yamani (tiang penyangga ka’bah sebelah kanan) yang terdapat Hajar Aswad pada tiang tersebut, dan jika dibuktikan dengan alat google earth pendapat syeikh Nawawi ini benar secara teknologi.
Kesimpulan penulis, bahwa apapun metode yang digunakan dalam penentuan arah kiblat, baik tradisional maupun modern akan menghasilkan arah yang sama, arah yang satu yaitu Ka’bah Baitullah, bukan arah barat semata yang membentang 90 derajat[5] dari arah barat laut – barat sejati –barat daya. Sehingga semua kalangan dari orang awam sampai dengan cendikiawan dapat menentukan arah kiblat yang tepat, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal ini tentunya tidak lepas mengikuti para ahli dalam masalah arah kiblat. Seperti kisah di atas, Sayyid Utsman bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi  mengikuti dan mengakui kebenaran  pendapat Syeikh Nawawi yang mempunyai karamah melihat ka’bah dari Masjid Pekojan Jakarta.    


[1] Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiyai, LKis, Jakarta. h. 249
[2] Kompas merupakan urutan yang dapat dijadikan pijakan dalam menetapkan arah kiblat sebagaimana terdapat nukilan dari kitab Hasyiah Al-Jamal Juz 2 hal 324, mungkin sekarang bisa pula menggunakan GPS (Global Positioning System) , Theodolith dan Total Station  sebagai penentuan arah kiblat yang lebih canggih.
[3] Barat sejati adalah arah pas di titik barat garis ekuator khatulistiwa atau yang sejajar dengan garis tersebut.
[4] Pada kedua tanggal tersebut, terbukti secara ilmiah dengan ilmu hisab maupun rukyat jadi  dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i  maupun sains.
[5] Dihasilkan dari pengurangan azimuth barat daya dengan barat laut (315 – 225 = 90)